Assalamualaikum semua..
Alhamdulillah bertemu lagi kita dengan tetamu yang cukup istimewa ... Amatlah istimewa di mana adanya keistimewaan yang tiada pada tetamu-tetamu yang lain.. Di kesempatan ini, Imah nak coretkan sedikit entri mengenai tetamu istimewa kita ini ... Andainya tetamu kita pergi tanpa kita memperoleh faedah mengenainya..
Apa yang akan kita lakukan jika kita diberitahu bahwa seorang ulama
besar, pejabat atau tamu istimewa lainnya akan berkunjung ke rumah kita ?
Kita pasti akan mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut
kedatangannya. Mulai dari hidangan, tempat persinggahan, ataupun segala
sesuatu yang bisa membuat tamu tersebut merasa betah selama berkunjungdi
tempat kita.
Dan persiapan itu tentunya akan lebih ‘istimewa’ dan lebih serius
jika kita tahu, kunjungan ini adalah kesempatan terakhir dan
satu-satunya yang kita miliki.
Keutamaan Ramadhan jelas lebih besar daripada ke-utamaan seorang
‘tamu istimewa’. Di bulan itu ada satu hari yang lebih baik dari seribu
bulan. Pintu neraka ditutup dan pintu syurga dibuka. Di bulan itu kita
diperintahkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’alaa melaksanakan ibadah puasa, yang Alloh Subhanahu wa Ta’alaa
sendirilah yang akan membalasnya. Amalan sunnah di bulan itu bernilai
amalam fardlu, dan amalan fardlu digandakan 70 kali. Dan banyak lagi
keutamaan-keutamaan lainnya.
Mestinya beberapa keutamaan Ramadhan sudah membuat kita bersiap-siap
untuk menyambutnya secara ‘luar biasa’. Bagaimana pula kiranya, jika
ternyata Ramadhan ini adalah Ramadhan yang terakhir bagi kita ? Seperti
apakah persiapan yang kita lakukan.
Diantara yang bisa dan se-mestinya kita lakukan sebagai upaya persiapan adalah :
Muraja’ah (mengulang kembali) kajian fiqh puasa dan qiyam Ramadhan
Ini yang paling utama. Sebab al ilmu qoblal qouli wal ‘amal –
ilmu sebelum perkataan dan perbuatan-. Meski pernah mempelajarinya,
mengulangnya kembali tentu tidak ada salahnya. Apalagi jika nanti kita
mendapatkan hal-hal baru atau hal-hal yang sudah pernah kita baca namun
baru kali ini kita mengerti maksud sebenarnya.
Mengkaji fiqh puasa meliputi syarat-syaratnya, rukun-rukunnya,
pembatal-pembatalnya dan perkara-perkara yang dimakruhkan. Juga,
berbagai perbedaan pendapat di antara para ulama sehubungan dengan semua
itu.
Baik juga jika kita mengkaji hikmah-hilmah puasa supaya kita dapat
menunaikannya dengan sebaik-baiknya. dan sebelum menunaikannya, kita
patrikan di dalam benak kita hadits
“Barang siapa melaksanakan puasa Ramadhan dengan sepe-nuh keimanan
dan hanya mengharapkan balasan dari Alloh, niscaya dosa-dosanya yang
telah lalu akan diampuni.”
(HR. Bukhori dan Muslim)
Qiyam Ramadhan atau sholat tarawih adalah amalan sunnah yang sangat
ditekankan di bulan Ramadhan. Diriwayatkan, bahwa Rosululloh Sholallohu ‘alaihi was salam
menunaikan sholat tarawih secara berjam’ah di masjid selama tiga hari
berturut-turut dan sekira-nya tidak khawatir para shahabat akan mengira
bahwa sholat tarawih itu wajib untuk dikerjakan secara berjama’ah di
masjid, niscaya Beliau terus melaksanakannya.
Dan kita patrikan di benak kita juga, hadits shohih :“Barang siapa
melaksanakan qiyam Ramadhan dengan sepenuh keimanan dan hanya
mengharapkan balasan dari Alloh, niscaya dosa-dosanya yang telah lalu
akan diampuni.”
Intensifikasi ibadah di bulan Sya’ban
Karena tabiat manusia yang akan merasa kesulitan jika langsung
dibebani dengan tugas yang berat. Puasa dan Qi-yam Ramadhan bukanlah
amalan yang ringan kecuali bagi yang sudah terbiasa melakukan puasa dan
qiyamul lail (sholat malam) pada malam-malam selain Ramadhan.
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi was Salam yang sudah terbiasa
mengamalkan puasa sunnah dan menjaga qiyamul lail, melipat gandakan amal
ibadah Beliau, khususnya puasa di bulan Sya’ban. Ibunda ‘Aisyah
rodliallhu ‘anha mengatakan,”Aku tidak pernah menyaksikan Rosululloh r
menyempurnakan puasa sebulan penuh selain puasa Ramadhan. Aku juga tidak
pernah menyak-sikan Beliau mengerjakan puasa sebanyak yang Beliau
kerjakan di bulan Sya’an.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Dan di lain riwayat Beliau berkata,”Aku tidak pernah menyaksikan
Beliau melaksanakan puasa dalam satu bulan melebihi puasa Beliau di
bulan Sya’ban. Beliau melaksanakan puasa selama bulan Sya’ban, penuh.
Beliau melaksanakan puasa di bulan Sya’ban, kecuali beberapa hari saja.”
(HR. Muslim)
Dengan membiasakan diri melaksanakan puasa, qiyamul lail dan banyak
membaca Al Qur’an di bulan Sya’ban, diharapkan nantinya di bulan
Ramadhan kita sudah bisa ‘tancap gas’, beramal dengan sungguh-sungguh
tanpa rasa malas atau berat dalam menunaikannya. Tidak perlu pemanasan
dan penyesuaian terlebih dahulu.
Menebalkan keimanan, khususnya iman kepada hari akhir
Kuat dan tebalnya keimanan kita, khususnya keimanan pada hari akhir
memiliki andil yang sangat besar terhadap keseriusan kita dalam beramal.
Jika kita yakin bahwa kehidupan di akhirat adalah kehidupan yang abadi,
bahwa ke-nikmatan atau siksaan di sana adalah rasa yang sebenarnya –
karena dirasakan oleh jasmani dan ruhani sekaligus – sedang-kan
kehidupan dunia adalah kehidupan yang sebentar atau sementara saja,
pastilah kita akan mendahulukan semua yang yang diperlukan demi
kesuksesan di sana. Rosululloh Sholallohu ‘alaihi was Salam bersabda :
“Dibandingkan akhirat, dunia itu hanya seperti air yang me-nempel di
jari salah seorang di antara kalian – lalu Yahya (salah seorang perowi
hadits) mengisyaratkan telunjuknya di lautan. Lihatlah, seberapa
banyak (air) yang dibawanya !” (HR. Muslim)
Kajian tentang apa yang terjadi setelah kita mati di alam barzakh
kelak dan bahwa seseorang itu bisa meninggalkan dunia yang fana ini
kapan saja tentunya akan menyadarkan kita untuk bersiap-siap
menghadapinya, kapan saja. Alloh Subhanahu wa Ta’alaa berfirman :
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu
sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, lalu ia
berkata, “Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)-ku
sampai waktu yang de-kat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku
terma-suk orang-orang yang sholih ? (Qs. Al Munafiqun :10)
Kajian tentang nikmatnya jannah dan pedihnya neraka akan menyadarkan
kita dan membuat kita sangat-sangat merindukan kehidupan akhirat.
Terlebih jika selama di dunia ini beban berat senantiasa kita pikul dari
waktu ke waktu.
Keimanan kepada hari akhir yang kuat akan mengurangi sikap berlebihan
kita dalam mencintai dan mengurusi dunia. Kita ti-dak bakalan rela
membiarkan dunia menyita waktu-waktu kita. Dan Ramadhan yang memiliki
begitu banyak kelebihannya terlalu saying untuk dibiarkan berlalu.
Apalagi setelah selama sebelas bulan kita banyak dilalaikan oleh nikmat
dunia.
Berazam untuk tidak menyia-nyiakan Ramadhan
Setelah ketiga persiapan pertama sudah maksimal dan Ramadhan sudah di
ambang pintu, tiba saatnya untuk membulatkan tekad, berazam untuk tidak
menyianyiakan Ramadhan. Tidak membiarkan sesaat pun berlalu kecuali
dalam rangka ibadah.
Dengan tekad ini semoga jika seandainya kita tidak berkesempatan
berjumpa dengan bulan Ramadhan, kita tidak terhalangi dari fadlilahnya.
Semoga kita tidak terhalangi dari keutamaan Rama-dhan tahun ini, yang mungkin saja RAMADHAN TERAKHIR bagi kita.
KESEMPATAN TERAKHIR
Hampir selalu, setiap kali mengimami sholat, ustadz itu berpaling
menghadap jamaah dan berkata,”Shollu sholatal muwaddi.” Sholatlah kalian
dengan sholat perpisahan ! Dan hampir selalu pula, dada saya bergetar.
Ucapan beliau menyusup ke dalam relung bathin. Inilah sholatmu yang
terakhir, waspadalah ! Begitu suara yang terdengar di dalam jiwa. Inilah
kesempatan terakhir untuk mempersembahkan sholat terbaik dalam hidupmu.
Kata ‘terakhir itulah yang kemudian berubah menjadi energi yang
dasyat. Saya tidak boleh main-main. Apalagi jika sebelumnya, saya merasa
berbuat salah. Kata itu membuat saya cemas. Namun juga menyelipkan
secercah harapan, karena kesempatan terakhir ini mudah-mudahan ada
nilainya. Gabungan harap dan cemas itulah yang melahirkan sensasi aneh.
Sebab bagaimanapun, kata ‘terakhir’ itu menggantikan frasa ‘tidak ada
lagi sesudah-nya’.
Sebagai manusia yang mengimani hari akhir – yang berarti tidak ada
hari lagi setelahnya – kata ‘terakhir’ lebih banyak kita kenal di dunia
ini, dan berarti selesainya sebuah tahapan menuju tahapan berikutnya.
Hingga berhenti di ‘hari akhir’ itu sendiri.
Kata ‘terakhir’, efektif untuk memberi kabar gembira, jika
berhubungan dengan penderitaan dan memunculkan harapan. Pun ia efektif
menjadikan ancaman dan peringatan, jika ber-hubungan dengan kelalian dan
berakhirnya segala kenikmatan atau kelezatan semu duniawi.
Dan karena setiap kita pasti akan mati, dengan ketiadaan informasi
tentang kapannya, kesadaran bahwa inilah saat terakhir yang kita
miliki, harus selalu kita hadirkan setiap saat. Agar kita bisa
mempersembahkan amalan terbaik dari yang sebelumnya. Juga agar kita
tidak bermain-main dengan kesempatan yang ada untuk berbuat maksiyat.
Prinsip ‘toh ada hari esok’, bisa menjadi racun jika kita tidak
menyikapinya dengan bijak. Ungkapan ini akan membuat kita menunda-nunda
taubat dan bermain-main dengan maksiyat. Atau membiarkan hari berlalu
tanpa amalan yang berarti. Dan mungkin kita tidak merasa kecewa
karenanya. Bukankah ini sebuah musibah?
Kita memang tidak boleh berandai-andai, kecuali mengandaikan
berakhirnya kenikmatan dunia ini hari ini. Karena itu akan membuat kita
menghargai nikmat sehat dan kesempatan pemberian Alloh, pada saat banyak
manusia tenggelam di dalamnya.
JANGAN JADIKAN RAMADHAN ESOK SEBAGAI MONSTER
Apa yang mencemaskan kita saat Ramadhan hempir menjelang ? “Saya
sering tidak bisa membagi waktu, sehingga tidak bisa meraih perun-tungan
yang besar.” ujar seorang teman. “Saya terlalu sibuk mengisi dauroh dan
pengajian, sehingga tidak ada waktu untuk mengurus diri sendiri.” ujar
yang lain. Yang satu lagi menambahkan, dengan agak malas dia
berkata,”Saya tidak cukup uang untuk lebaran dan menambah belanja istri
di bulan Ramadhan.”
Apa yang disampaikan teman kita yang terakhir, ini ada benarnya. Dan
yakin, dia tidak sendirian. Pada banyak kasus yang kita amati, Ramadhan
adalah saat memindah-kan pesta ke rumah kita. Setiap hari, selama satu
bulan. Ba-yangkan ! berapa uang belanja yang harus ditambahkan. Wajar
saja jika bukan rasa syukur atas pertemuan dengan Ramadhan yang terucap,
namun justru kekhawatiran dan ketakutan.
Siapapun tahu, ada banyak manfaat puasa di bulan Ramadhan secara
kejiwaan. Ia merupakan proses pendidik-an dan pelurusan bagi jiwa dari
hal-hal yang mengotori kesu-ciannya. Ia adalah terapi jiwa yang sangat
manjur. Bagi pen-damba jiwa yang religius, Ramadhan adalah hari-hari
memu-askan dahaga ruhani dengan ibadah dalam suasana yang sangat
mendukung. Menahan diri dari makan minum sehari penuh sejak terbit
hingga terbe-namnya matahari adalah latihan bagi kita dalam melawan
dan menundukkan hawa nafsu. Me-najamkan sanubari dan menundukkan
kepekaan jiwa, sebab rasa lapar yang terasa akan membuat kita menjadi
sabar dalam menanggung beratnya rasa sakit dan jauhnya kita dari
kelezatan dan kenikmatan hidup. Melahirkan perasaan qonaah dalam
kekurangan dan kepedulian sosial terhadap mereka yang terbiasa hidup
mis-kin. Simpati ini akan menumbuhkan kasih dan sayang yang bersemi
meringankan tangan kita terayun untuk mereka.
Ramadhan mengajari kita makna tanggung jawab, pengendalian nafsu,
kemauan yang kuat dan pendirian yang teguh. Membentengi diri dengan
konsistensi menjalankan iba-dah dan praktik tingkah laku yang terpuji.
Membuahkan ke-taqwaan dan kesabaran, bekal terbaik dalam menanggung
be-ratnya beban kehidupan, perjuangan dakwah, godaan duniawi dan
kontinyuitas ibadah.
Semestinya perjumpaan dengan Ramadhan adalah kerinduan yang mewujud.
Kesempatan memperbaiki diri. Berharga mahal yang sayang jika dilewatkan.
Namun, hari ini Ramadhan menjadi semacam ‘monster yang menakutkan’.
Bukan ketakutan dan rasa khawatir akan gagalnya panen amaliah ibadah,
pahala dan ampunan Alloh, juga bukan khawatir gagal menjadi pribadi yang
religius, tetapi rasa khawatir dicemberuti istri lantaran tidak adanya
tambahan belanja, ditatap sinis mertua karena kita tidak bisa membawa
pulang baju baru untuk anak-anak.
Tidak jarang juga yang sampai harus berhutang demi menyediakan
kelengkapan hidangan saat berbuka. Apalagi melihat wajah anak-anak yang
memelas memancarkan rasa lapar yang sangat, sering menyudutkan kita pada
perasaan bersalah jika tidak bisa menghidangkan makanan yang
‘istime-wa’.
Belum lagi jika ada acara ‘wajib’ bersilaturrahmi ke orang tua pada
hari lebaran, niat suci menjaga hubungan kekerabatan sering berubah
menjadi ajang pamer kekayaan. Seolah ingin ber-kata,”Lihatlah saya
setahun ini !”. Iklim bersaing tidak sehat ini, kadang memaksa untuk
memanipulasi diri, agar tidak dianggap gagal. Banyak juga yang kemudian
bekerja sekuat tenaga mengumpulkan harta yang cukup untuk ‘dipamerkan’.
Tidak jarang juga, perasaan malu muncul jika keadaan rumah masih
seperti tahun lalu. Kemudian berusaha untuk merubah cat tembok,
peralatan makan, perabotan, kursi tamu, korden, atau bahkan, sarung,
sajadah dan mukena. Hanya dengan anggapan bahwa Idul Fitri adalah hari
raya umat Islam, dan juga bahwa ia adalah hari makan dan minum. Kemudian
memaksa diri melebihi kemampuan hanya sekedar demi geng-si, kemudian
mengorbankan kesempatan ibadah karena sibuk mempersiapkan hidangan dan
pernak-perniknya, tentulah bukan pilihan yang baik. Banyak para bapak
meninggalkan i’tikaf karena mengejar ‘setoran’ lebaran, atau
masjid-masjid menjadi sepi di pertengahan Ramadhan.
Suasana materialistis seperti ini, sering membuat fakir miskin dan
para dlu’afa menangisi Ramadhan, karena mereka tidak punya apa-apa.
Rasanya Ramadhan hanya untuk mereka yang kaya dan berkecukupan. Padahal
zaman yang sulit dan penuh fitnah ini, kepedulian hasil ruhiyah Ramadhan
harusnya lebih diutamakan. Bukankah pribadi religius yang akan sanggup
menanggung sulitnya beban kehidupan ? Pribadi yang punya kesabaran dan
ketaqwaan.
Wallohu A’lam bish Showwab
p/S:entri ni Imah amik dari internet dan ada yang diolah sedikit.. jika ada kekhilafan mohon maaf dan minta tegur ya ^^
No comments:
Post a Comment